Materi Pegadaian Syariah
1.
Pengertian Ar-Rahn
Skim gadai Islam atau rahn merupakan sekema di mana
pihak gadai memberikan pinjaman kepada nasbah atas dasar pinjaman, dan atas
pemeliharaan jaminan tersebut, maka penggadaian akan mengenakan biaya
pemeliharaan tertentu. Hal yang paling penting diperhatikan adalah metode
penentuan biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan barang jaminan, di
mana biaya tersebut tidak dibenarkan menggunakan sistem bunga yang didasarkan
pada nilai pinjaman.[1]
Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang
jika gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemagang gadai berhak
menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum
lunas, tetapi ia tak berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak
menjual gadai itu, jika si berhutang tak mau membayar hutangnya. Jika hasil
gadai itu lebih besar dari pada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu
harus dikembalikan kepada si pegadai.
Tetapi jika hasil tidak mencukupi pembayaran hutang,
maka si pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu.
Penjualan gadai harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan
biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada si pegadai. Tentang
pelunasan hutang, pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang lainnya.
Dalam kehidupan di masyarakat saat ini ada yang
memerlukan dana mendesak,seperti untuk pengobatan, biaya hidup dan masih banyak
lagi keperluan-keperluan yang tidak bisa dielakkan. Orang tersebut terpaksa
meminjam uang dengan sesuatu jaminan barang, sebagai pegangan sekiranya uang
peminjaman itu tidak dapat dikembalikan.[2]
Produk gadai syariah, di antaranya :
a) Pemberian pinjaman kepada warga masyarakat dengan
menyerahkan harta benda sebagai jaminan
b) Pemberian pelayanan berupa jasa penaksiran atas
nilai suatu harta benda, dan
c) Penitipan barang berupa sewa (ijarah).[3]
2.
Lanadasan Hukum Rahn
a. Al-Qur’an :
Firman Allah, QS.
Al-Baqarah [2]: 283:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ …
“Dan
apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ...”.
b.
Al-Hadits :
Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a., ia berkata:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ
يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ
دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berhutang
dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”
c. Ijma : Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn
(al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, 1985, V: 181).
d. Kaidah
Fiqih : الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ
إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Fatwa
DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Gadai Islam (Rahn) :
1.
Pertama : Hukum, bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan.
2. Kedua : Ketentuan
Umum ,meliputi :
1)
Murtahin
(penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua hutang Rahin (yang
menyerahkan barang) dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3)
Pemeliharaan dan
penyimpanan Marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4)
Besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan Marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5)
Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin
harus memperingatkan Rahin
untuk segera melunasi hutangnya.
b.
Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi
hutangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c.
Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi
hutangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
d.
Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
e.
Kelebihan hasil
penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
6) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
FATWA TENTANG RAHN EMAS
1) Rahn Emas dibolehkan
berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn).
2)
Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3)
Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang
nyata-nyata diperlukan.
4)
Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.[4]
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada
dasarnya penggadaian Islam berjalan di atas dua akad transaksi Islam yaitu :
1) Akad Rahn, Rahn yang dimaksud adalah
menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagaian piutangnya. Dengan akad ini penggadaian menahan barang bergerak
sebagai jaminan atas utang nasabah.
2) Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak
guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan
bagi penggadai untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik
nasabah yang telah melakukan akad.[5]
[1] Nurul Huda. 2010. “Lembaga Keuangan Islam”. Jakarta : Fajar
Interpratama. Hal 98.
[2] M . Ali Hasan. 2003.
“Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam .” Jakarta : Pt Raja Grafindo .
[3] Zainuddin Ali.2010. “ Hukum Perbankan Syariah”. Jakarta : Sinar
Grafika. Hal 98.
[4] Zainuddin Ali. Ibid,Hal 99-101.
[5] Nurul Huda, Opcit hal 279.
Komentar
Posting Komentar