Potensi zakat sebagai sektor publik Ekonomi Islam
Potensi
zakat sebagai sektor publik Ekonomi Islam
A. Pendahuluan
Potensi zakat Indonesia di atas kertas luar
biasa besar. Secara matematis, minimal akan kita dapatkan angka sebesar Rp 6,5
trilyun per tahun. Belum lagi jika ditambah infaq, shadaqah, serta wakaf. Akan
kita peroleh angka yang cukup besar.
Angka-angka di atas barulah
potensi, belum menjadi kenyataan. Kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih
kurang Rp 150 milyar per tahun (ini menurut data pengumpulan zakat oleh
lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya 2,3%. Apa masalahnya ? Salah
satunya adalah faktor kepercayaan muzakki yang rendah terhadap organisasi
pengelola zakat yang ada.
Zakat
telah direalisasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah Islam,
sampai-sampai pernah tak ditemukan lagi orang-orang fakir yang berhak
mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar bin
Abdul Aziz (w. 122 H), menuturkan,”Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah
mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku
minta dikumpulkan orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada
seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya.” (Ulwan, 1985:2, As-Siba’i,
1981:392)
Namun sayang,
kondisi seperti itu kini hanya nostalgia, terutama setelah hancurnya Khilafah
Islamiyah (1924). Angka kemiskinan dari hari ke hari grafiknya semakin naik. Menurut data
yang ada, angkanya saat ini sudah mencapai 150 juta orang. Apalagi nampaknya
krisis multi dimensi ini masih akan terus berlanjut.
Memang masalah
kemiskinan merupakan tanggung jawab negara. Namun melihat kondisi tersebut,
setidaknya dana zakat (beserta infaq, shadaqah, wakaf, dan sejenisnya) dengan
potensinya yang demikian besar tadi dapat berperan dalam membantu pemerintah
dalam mengatasi berbagai problem sosial tadi.
Zakat kini dipahami terpisah dengan insitusi
pelaksananya, serta terlepas dari kesatuannya dengan hukum-hukum Islam
yang lain dalam bidang ekonomi. Karenanya, tatkala orang membicarakan zakat, ia
dianggap sebagai satu-satunya ajaran Islam yang dapat diandalkan untuk
mengatasi kemiskinan. Zakat dipaksa harus memikul semua beban dari keseluruhan
tugas sistem ekonomi Islam. Ini diperparah dengan penerapan sistem ekonomi
kapitalisme dalam masyarakat modern, yang selain cenderung memperlebar jurang
kaya-miskin (Strahm, 1999:14; Budiman, 1996:65) juga mempengaruhi pola pikir
umat untuk cenderung bersikap pragmatis dengan menggunakan standar
manfaat (naf’iyah) untuk menetapkan baik-buruknya segala sesuatu
(An-Nabhani, 2001: 27-28; Chapra, 1999: 28).
Akibat lanjutannya mudah diduga. Terjadi ekstensifikasi yang
dipaksakan. Ketika dana yang terkumpul dari zakat tidak mencukupi untuk
mengangkat kaum miskin, sementara jumlah orang miskin terlalu banyak, agar
terbukti bahwa Islam mampu menghilangkan kemiskinan, maka konsep zakat akhirnya
dimelarkan dan dimulurkan –secara paksa— sesuai dengan asas kemanfaatan dan
tuntutan keadaan, tanpa mempertimbangkan secara mendalam dan seksama kekuatan
dalil syariahnya. Dari sinilah lalu lahir dan berkembang luas konsep “zakat
profesi”, dan sebagainya (Husaini & Antonio, 1997: 27-28; Hafidhuddin,
1998: 103-108).
Seharusnya ini tak perlu terjadi. Sebab ajaran Islam untuk
mengangkat derajat kaum miskin sesungguhnya tidak hanya zakat. Masih banyak
konsep-konsep yang lain yang menerangkan sumber-sumber harta yang dapat
digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, termasuk pemberantasan kemiskinan.
Misalnya konsep al-anfaal (harta rampasan perang), jizyah (harta
yang dipungut oleh negara dari warga negara non-muslim), milkiyah ‘ammah (harta-harta
kepemilikan umum), milkiyah daulah (harta kepemilikan negara), ‘usyuur
(harta yang dipungut oleh negara dari komoditas perniagaan ahludz
dzimmah/kafir harbi yang melintasi perbatasan negara), dan lain
sebagainya (Zallum, 1983 : 33-36).
Karena itu, seharusnya konsep zakat kita kaji ulang secara
objektif, yakni sebagaimana adanya sesuai yang ditunjukkan oleh nash-nash
syara’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kalau pun ada ijtihad, harus dapat
dibuktikan bahwa ijtihad itu mempunyai dalil syariah yang kuat sehingga sah
dalam penilaian syara’. Selain itu, konsep-konsep Islam lainnya di bidang
ekonomi juga harus ditelaah, seperti pemanfaatan harta kekayaan milik umum (milkiyyah
‘ammah), termasuk juga keterkaitan zakat dengan negara Khilafah sebagai
institusi pelaksananya, agar pemahaman kita tidak tanggung dan
sepotong-sepotong.
Tulisan ini bertujuan menelaah konsep penghimpunan dan
distribusi zakat dalam masyarakat modern, dengan fokus pembahasan pada hal-hal
berikut : (1) Harta yang Wajib Dizakati (2) Mustahiq zakat (orang yang berhak
menerima zakat). (3) Zakat Profesi (4)
Peran negara dalam distribusi zakat. (5) Alternatif di luar zakat : pemanfaatan
harta milik umum.
B. Harta
Yang Wajib Dizakati Dan Penerima Zakat
Zakat adalah ibadah yang telah ditetapkan tata caranya oleh syara’, baik
yang berhubungan dengan syarat-syaratnya, pihak yang wajib menunaikan serta
yang berhak menerima, jenis benda yang wajib dizakati, kadar, dan cara-cara
pendistribusiannya. Syariat Islam telah menetapkan jenis-jenis harta yang wajib
dizakati, yaitu : (1) Nuqud/mata uang.
(2) Keuntungan dari Perdagangan
(3) Zakat Hewan Ternak (4) Zakat Tanaman.
Adapun pihak
atau orang-orang yang berhak memperoleh zakat (para mustahiq zakat) telah ditentukan
Allah dalam firman-Nya :
"Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil
zakat, mu`allaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu
sabil." (QS At Taubah : 60)
Ayat ini membatasi dan mengkhususkan para mustahiq zakat hanya pada 8
(delapan) golongan (ashnaf) saja. Zakat tidak boleh diberikan kepada selain
mereka. Ayat tadi menggunakan kata innamaa (hanyalah), yang dalam bahasa
Arab merupakan salah satu kata pembatas (adatul hashr). Lagipula setelah
itu ada huruf lamul milki (huruf laam yang menunjukkan kepemilikan,yang
dibaca li pada kata lil fuqaraa`). Ini menunjukkan adanya
pembatasan hak menerima zakat serta pembatasan kepemilikannya hanya pada 8
(delapan) golongan tersebut.
C. Zakat Profesi
Sesungguhnya, Islam tidak
pernah mensyariatkan zakat profesi. Ini bisa kita lihat dari kenyataan, bahwa para
fuqaha dan ahli tahqiq ternama, tidak pernah membahas masalah ini (zakat
profesi) dalam kitab-kitab
fiqh mereka. Padahal, pada saat itu, profesi pegawai negara, misalnya qadliy,
pencatat, dokter,
dan sebagainya sudah ada, baik sejak zaman shahabat hingga masa tabi’în. Namun,
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw menarik
zakat berdasarkan profesi mereka, misalnya profesi petani, nelayan, dokter, dan sebagainya. Bahkan,
sikap generasi awal-awal Islam menolak pemungutan zakat jika jenisnya
tidak ditentukan oleh nash
syara’. Mereka juga tidak pernah berdalil dengan alasan keadilan dan kesetaraan,
apalagi berdalil bahwa hasil
dari hewan ini, atau tumbuhan ini, atau profesi ini lebih besar, sehingga tidak
adil jika tidak
ada zakatnya. Sebab, alasan-alasan semacam ini hanya lahir dari hawa nafsu,
bukan dari akal yang dibimbing oleh syariat Islam. Perhatikan riwayat-riwayat
berikut:
. Dalam sebuah hadits riwayat Daruquthniy
dituturkan, bahwasanya ‘Abdullah bin Musghirah bermaksud memungut zakat dari hasil tanah Musa bin
Thalhah berupa sayur-sayuran. Musa bin Thalhah berkata, “Kamu tidak
boleh memungutnya, karena
Rasulullah saw tidak pernah mengatakan bahwa tidak wajib zakat pada sayur-sayuran.” [HR. Daruquthniy dan al-Hakim,
hadits mursal dan kuat].
2.
Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat
kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah persik
dan delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah kurma. Umar
membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya, sebab, itu
termasuk pohon berduri (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab zakat).
Dari riwayat-riwayat ini bisa diketahui, bahwa para
shahabat tidak pernah memungut zakat dari sesuatu yang tidak ditentukan nashnya
secara jelas, meskipun hasilnya berlimpah ruah, atau berlipat ganda. Ayam yang
dipelihara dalam jumlah ribuan bahkan jutaan, tidak boleh dipungut zakatnya
(kecuali untuk diperdagangkan). Sebaliknya, kambing yang jumlahnya 50 ekor
harus ditarik zakatnya.
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang mewajibkan
zakat profesi, adalah:
1. Berhujjah dengan apa yang
disebut dengan mâl al-mustafâd. Mereka menyatakan bahwa terhadap mâl al-
mustafâd harus dizakati sebesar 1/40 begitu diterima. Mereka juga menyandarkan
pada pendapat-pendapat para shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan
Mu’awiyah; sebagian tabi’in misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan
al-Bashriy.
2. Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan
harta, bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka
beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen, sedangkan
hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter, insinyur, dan
lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak disyariatkan.
Kritik Atas Zakat Profesi
1.
Pendapat Shahabat Bukanlah Dalil Syara’
Pada dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang
mâl al-mustafâd, semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada
thabaqat shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits
tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi,
sebab ia didasarkan pada pendapat para shahabat.
Pendapat shahabat bukanlah dalil syara’, dan tidak
absah digunakan sebagai hujjah (Taqiyuddin an-Nabhani, al- Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah, juz III, hal. 478). Imam Syafi’iy menolak berhujjah dengan
pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak diperkenankan memberi hukum atau
berfatwa melainkan berdasarkan berita yang benar yang berasal dari al-Qur’an
dan as-Sunnah.” (Dr. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm al-Ushûl al-Fiqh).
2. Nishab dan Haul
Seandainya status hadits tentang mâl al-mustafâd tidak perlu
dipersoalkan, maka mâl al-mustafâd yang tersebut di dalam hadits-hadits
tersebut tidak seketika diambil zakatnya ketika diterima, akan tetapi berbicara
pada konteks yang lain; yakni ketika telah sampai nishab dan haul. Adapun hadits
yang digunakan landasan dalam masalah mâl al-mustafâd adalah sebagai berikut:
Pertama, Hubairah bin Yaryam berkata,
“’Abdullah bin Mas’ud telah memberi kami sebuah baju, kemudian ia mengambil
zakat dari baju itu.” (Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal.504).
Kedua, dari Yazid dari Hisyam bin Hisaan
dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, dituturkan bahwasanya ‘Ikrimah bertanya kepada
Ibnu ‘Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh harta (mâl al-mustafâd).
Ibnu ‘Abbas berkata, “Ia harus mengeluarkan zakat saat ia menerimanya.”
Terhadap hadits yang pertama, Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwâl
menyatakan, “Menurut saya, berdasarkan hadits riwayat dari Abu Bakar dan
‘Utsman, maka maksud dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud ini adalah keduanya
memungut zakat tatkala harta tersebut telah wajib dizakati sebelum pemberian,
bukan tatkala seseorang itu menerima pemberiannya.”
Pengertian semacam ini ditunjukkan oleh hadits lain
yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud sendiri: “Siapa saja yang menerima
harta (mâl al-mustafâd) maka tidak ada zakat di dalamnya hingga mencapai haul.”
(Imam Dzahabi mengomentari hadits ini, bahwa di dalam isnadnya terdapat Khusaif
bin ‘Abdurrahman al-Jazariy Al- Haraniy Abu ‘Aun salah seorang mawaliy Bani
Umayyah; dan ia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Namun, Ibnu Mu’in berkata ia adalah
laki-laki yang baik dan terpercaya).
Adapun hadits yang kedua, ‘Abu ‘Ubaid berkomentar
sebagai berikut, “Orang menafsirkan —atau sebagian orang— bahwa yang dimaksud
oleh Ibnu ‘Abbas adalah harta emas dan perak. Menurut saya, maksud dari
perkataan Ibnu ‘Abbas di atas tidaklah demikian. Saya adalah orang yang lebih
faqih dibandingkan mereka (orang yang menafsirkan dengan emas dan perak).
Sebab, penafsiran semacam itu bertentangan dengan pendapat umat Islam. Menurut
saya, bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas adalah zakat atas apa yang keluar
dari tanah. Sebab, penduduk madinah menamakan tanah-tanah mereka dengan harta
(Al-Amwal). Kami tidak menjumpai satupun hadist didalam sunnah yang menyatakan
bahwa harta wajib dizakati ketika dizakati, kecuali apa yang keluar dari
tanah.Seandainya maksud dari perkataan Ibnu Abbas tidaklah demikian, sungguh
saya tidak tahu apa maksud dari hadistnya." (pentahqiq kitab
Al-Amwal, Muhammad halil Al-Haras menyanggah pendapat Abu 'Ubaid ini dan menyatakan
bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah harta tersebut tumbuh sedikit demi
sedikit. Jika ia telah mencapai haul dan terpenuhi nishabnya, maka harta
tersebut harus dikeluarkan zakatnya tatkala telah mencapai nishab ).
Pentahqiq kitab Al
Anwal, Muhammad khalil Al Haris, dalam catatan kaki, menyatakan." Hadist
ini (Hadist Riwayat Ibnu Abbas/ hadis kedua) diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, maknanya adalah jika harta tersebut telah mencapai nishab, maka ia
harus dikeluarkan zakatnya dan tidak harus menunggu tercapainya haul. kemudian
baru dikeluarkan zakatnya)",
Dari komentar Abu "Ubaid diatas bisa disimpulkan,
bahwa mal Al-mustafad yang termaktub dalam riwayat Ibnu Abbas, Ibnu
Mas'ud, dan lain-lainnya, tidak serta merta ditarik zakatnya ketika diterima,
akan tetapi baru ditarik ketika telah mencapai nishab dan haul.
Abu "Ubaid dalam kitab Al Anwal menuturkan
beberapa riwayat tentang Al Mal Al Mustafat yang selalu diakitkan dengan haul.
Ashim bin Dlamrah dari Ali ra, bahwasanya ia berkata, " Tidak ada zakat bagi Al Mal Al
Mustafad hingga ia mencapai haul (tersimpan selama satu tahun )." (H.R Abu
Dawud, Imam Ahmad, dan Al
Baihaqy).
Hadist serupa juga
diriwayatkan oleh Nafi' dari Ibnu Umar (H.R Daruqudny dan Ibnu Abi Syaibah). riwayat senada juga
dituturkan oleh
Al Qatadahdari Jabir bin Zaid dari ibnu Umaar (Abu Ubaid, Al Amal,
hal. 503-504).
Muhammad bin Uqbah berkata," Saya bertanya kepada
Qasim bin Muhammad tentang zakat, ia berkata, 'Adapun abu Bakar, Jika seoarng
laki-laki hendak mengambil pemberiaanya. Ia berkata, apakah orang tersebut
memiliki harta yang layak untuk dizakati. Jika orang tersebut menyatakan bahwa
ia memiliki harta yang layak untuk dizakati, maka Abu Bakar balas mengambil
seabgian harta yang hendak ai ambilnya. Jika laki-laki itu menyatakan bahwa ia
tidak memiliki harta yang layak untuk sizakati. maka Abu Bakar menyerahkan
pemberianya kepada laki-laki itu."
Riwayat senada juga
dikemukakan oleh Muhammad bin Abu Bakar. Dalam Riwayat lain dituturkan,
bahwadanya Ibnu Abi Slamah meriwayatkan dari "Umar Bin Husain dari Aisyah
anak perempuan dari Qudamah bin Madhmuun perempuan itu berkata, "
Usman bin Affan jiak mengeluarkan pemberian, ia mengirimnya kepada Bapakku.
Kemudian ia berkata. "Jiak akmu memiliki harta yang wajib dizakati, maka
akmi akan membuat perhitungan dari pemberianmu."
Ini menunjukkan bahwa,
pembahasan mal Al Mustafad, terkategori dalam zakat mal (emas dan perak) yang
mensyaratkan adanya nishab dan haul. Para ulama sepakat bahwa haul menjadi
syarat zakat.
Berbeda dengan zakat profesi
yang dikenalkan oleh Yusuf Qaradlawiy. Sesunggunya ia telah memasukkan
zakat profesi dalam kategori mal Al mustafad, dan menariknya begitu diterima,
bisa bulanan, harian, mingguan, tergantung diterimanya harta tersebut.
Menurutnya, gaji dokter, insinyur, wiraswasta dan sebagainnya terkategori mal
Al Mustafad, dan menariknya begitu diterima, yakni 1/40-nya. Sesunggunnya
pendapat semacam ini adalah pendapat ganjil yang tidak pernah dikenal oleh
ulama-ulama masa awal islam. Bahkan, maksud dari mal Al Mustafad yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sama sekali berbeda dengan zakat
profesi yang diketengahkan oleh Yusuf Qaradlawiy.
Adapun Riwayat-riwayat lain
yang menyanggah pendapat Qaradlawy .Dari Mukhariq, dituturkan bahwa
Thariq telah berkata, " Pada masa Umar harta pemberian-pembrian kami tidak
dikeluarkan zakatnay, hingga kami mengeluarkan zakatnya."
Abu Ubaid Berkata, "
Hadist ini menunjukkan bahwa zakat tidak diambil dari pemberian kecuali harta yang telah dimiliki oleh
mereka. Seandainya pemberian itu harus dizakati, tentunya Umar akan mengambil
zakat darinya." (Abu Ubaid, al Amwal, hal 505)
C. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan dengan
sharih tentang wajibnya zakat profesi, maka seorang muslim tidak boleh
menetapkan adanya zakat profesi. Seorang muslim tidak boleh berpandangan, bahwa
tidak disyariatkanya zakat profesi adalah bentuk ketidakadilan dan kezdaliman.
Sebab, petani yang pendapatanya tidak seberapa tetap dikenakan zakat, seadngkan
dokter, insinyur dan profesi lain " yang tidak terlalu berat "
dibandingkan profesi petani justru tidak ditarik zakatnya. Mungkin kita bisa
memberikan ilustrasi yang serupa untuk menangkis ini. Rasulullah Saw telah menarik zakat dari
unta, sapi, kerbau kambing dan domba, namun beliau tidak menarik zakat pada
kuda, keledai, baghal dan
sebagainya. Rasulullah Saw bersabda, "Telah maafkan bagimu mengenai kuda
dan hamba sahaya, dan tidak wajib zakat pada keduanya." (H.R Ahmad dan Abu
Dawud). Tentunya kita tidak boleh berpikiarn, "mengapa peternak domba
ditarik zakatnya sedangkan peternak kuda atau keledai tidak ditarik, bukankan
ini tidak adil?" Jika kita berpikiran seperti ini, berarti kita telah
menyangsikan keadilan hukum yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya.
Adapun pengqiyasan antara zakat profesi
dengan zakat hasil pertanian maupun zakat maal, adalah tertolak. Sebab, tidak
ada illat dalam zakat hasil pertanain, sehingga layak untuk diqiyaskan pada
profesi selain petani. Adapun mengenai Illat adanya keadilan dan kesetaraan,
sesunggunhnya Illat semacam ini tidak bernilai sama sekali untuk memabngun
hujjah. Sebab illat yang absah digunakan untuk qiyas adalah illat syar'iyyah,
bukan Illat 'aqliyyah. Padahal, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa
Illat zakat adalah untuk kesetaraan dan keadilan. Sealin itu, zakat hasil
pertanian tidak boleh diqiyaskan dengan zakat profesi karenapetani harus
mengeluarkan zakat tatkala ia memanennya. pendukung zakat profesi menyatakan,
bahwa saat panen sama dengan saat gajian, jadi seorang dokter ketika gajian
harus ditarik zakatnya juga. Sesungguhnya qiyas semacam ini adalah qiyas seram
pangan yang didasarkan pada hawa nafsu belaka. Sesungguhnya, nash yang
berbicara tentang zakat hasilpertanian tidak mengandung Illat sama seakli,
sehingga layak digunakan dalil untuk qiyas. Perhatikan firamn Allah SWT, "keluarkanlah
zakat biji makanan itu pada hari panennya. " (Q.S. Al An'am, [6], 141).
nadh ini berbicara pada konteks khusus, yakni zakat biji makanan dan tidak
boleh dizakatkan dengan yang lain . Selaim itu nash ini tidak menunjukkan
adanya Illat sama seakli. Padahal syarat utama qiyas adalah adanay Illat.
Lantas apa bisa kita mengqiyaskan sesuatu ayng tidak ada Illatnya?
Dengan demikian zakat profesi
adalah bentuk peribadatan baru yang tidak pernah dikenal baik dizaman Rasulullah, sahabat maupun
ulama-ulama terkenal. Bahkan mereka tidak pernah menyinggung masalah ini dalam
kitab-kitab fiqih mereka. Ini menunjukkan bahwa zakat profesi tidak pernah
disyariatkan dalam islam. Jika demikian kita bisa menyimpulkan bahwa zakat
profesi ahrus dikelola demi menegakkan hujjah dan kebenaran.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
D. Peran Negara Dalam
Distribusi Zakat
Harta zakat sesungguhnya masuk kategori harta milik individu (milkiyah
fardiyah), yaitu individu yang termasuk 8 ashnaf, bukan milik negara (milkiyah
daulah). Namun demikian, sebenarnya pengelolaan zakat adalah tanggung jawab
negara, bukan tanggung jawab individu atau lembaga-lembaga sosial. Dengan kata
lain, yang disebut Amilin Zakat, sebenarnya, adalah orang-orang yang ditetapkan
oleh khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Mereka
itulah yang berhak mendapatkan bagian harta zakat dari golongan “Amilin Zakat”.
Selain mereka bukanlah Amilin zakat, yang berhak mendapat bagian harta zakat.
Dasarnya adalah firman Allah dalam At Taubah : 103 :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS At Taubah : 103)
Ayat tersebut pada awalnya adalah perintah kepada Rasul (sebagai kepala
negara) untuk memungut zakat kepada petugas zakat. Untuk kepentingan ini maka
Rasul mengutus para shahabatnya (sebagai amil zakat) untuk memungut dan
membagikan zakat, misalnya dengan mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman.
Berdasarkan dalil tersebut, penerimaan dan penyaluran zakat merupakan
kewajiban penguasa (Imam; dalam hal ini adalah negara yang berupa Khilafah
Islamiyah) untuk mengumpulkan dan mengelolanya. Tidak diperbolehkan bagi
lembaga-lembaga sosial maupun pendidikan; atau yayasan milik perorangan dan
yang serupa dengannya untuk memungut dan menyalurkan zakat.
Namun demikian, lembaga-lembaga sosial dapat berfungsi sebagai wakil dalam
akad wakalah dari pihak muzakki dalam menunaikan zakatnya. Jadi, meskipun
lembaga sosial dalam hal ini bukan bertindak sebagai amil zakat (yang berhak
mendapat bagian zakat), tetapi dia berhak mendapat upah (ujrah) atas akad
wakalah tersebut, yang besarnya upah itu adalah di luar harta yang dizakatkan.
Mengenai kontroversi zakat produktif, Dr. Amien Rais (1987) menyatakan
bahwa praktek zakat kini telah diwarnai bid’ah modern, yakni logika
kapitalistik. Zakat dikeluarkan kepada
mustahik dengan syarat tambahan :
asalkan tidak habis untuk konsumsi (makan/minum). Jadi menurut logika ini, zakat harus
dijadikan modal usaha atau harus produktif.
Alasannya, agar si miskin tidak terdidik malas bekerja atau pasif.
Logika semacam ini bukan saja merendahkan martabat manusia tetapi juga
sombong. Manusia normal tidak malas dan
tidak ada yang bercita-cita menjadi penganggur.
Masalahnya adalah sistem dunia usaha yang tidak adil. Zakat itu sepenuhnya menjadi hak yang
menerima. Jangan memberi dengan tidak
ikhlas[1], dengan cara yang menyakitkan[2] apalagi mengharap timbal balik[3].
Karena teori tersebut tidak realistis, lalu ditutupi dengan langkah yang
lebih fatal lagi. Zakat kemudian diputar
oleh “pengumpulnya” yang notabene adalah lembaga swadaya masyarakat, agar
“produktif”. Didepositokan di bank
misalnya, Mustahik (calon penerima zakat) akhirnya menerimanya dari hasil bunga
zakat yang didepositokan atau menerimanya sebagai kredit. Gagal sudah maksud zakat yang sebenarnya.
Sebenarnya penggunaan zakat oleh penerima zakat (mustahiq) adalah hak
mutlak dia, apakah akan dijadikan modal (produktif) ataukah untuk
konsumsi. Muzakki (pemberi zakat) maupun
amil (pengelola zakat) tidak bisa memaksakannya. Akan tetapi mereka dapat menganjurkannya
sebagai modal produktif. Sebaliknya,
dana yang dikelola oleh amil berasal dari infaq dan shodaqah dapat digunakan
sebagai infaq dan shadaqah produktif.
E. Pemanfaatan Harta Milik Umum
Memang mustahiq zakat sudah tertentu dan terbatas kepada 8 ashnaf sesuai
dalil-dalil syar’i yang ada. Jumhur fuqaha sepakat bahwa zakat tidak
boleh diberikan kepada selain 8 ashnaf yang disebutkan oleh Allah SWT seperti
pembangunan masjid, jembatan, sarana pengairan, perbaikan jalan, dan sebagainya
(Az-Zuhaili, 2000:289-290). Sebab, kata “innama” (hanyalah) yang terdapat pada
awal surat At-Taubah : 60 mengandung pengertian pembatasan (al-hashr).
Namun demikian, Islam masih membenarkan adanya jalan-jalan lain selain zakat
untuk berbagai kepentingan umat seperti pemberantasan kemiskinan dan penyediaan
berbagai sarana fisik. Jadi, zakat bukan satu-satunya intrumen untuk itu.
Banyak pihak dan lembaga yang sudah merintis berbagai instrumen hukum Islam
selain zakat untuk kepentingan tersebut, misalnya dengan : Shadaqah, Wakaf,
Nadzar, Hibah, Wasiat, Kaffarat, dan sebagainya. Penggalangan dan
penyaluran dana sosial melalui cara-cara ini kiranya lebih fleksibel dan dapat
menjangkau berbagai kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, sosial,
pendidikan, maupun kesehatan.
Namun demikian, sebenarnya ada potensi jalan lain yang jika diterapkan
dengan baik akan sangat efektif untuk mengatasi berbagai problematika umat.
Dana yang diperoleh dan disalurkan bisa sangat besar dan berlipat ganda dari
pemanfaatan kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah), seperti Shadaqah,
Wakaf, Nadzar, Hibah, Wasiat, dan Kaffarat. Hanya saja potensi
ini membutuhkan adanya kebijakan negara agar dapat terwujud. Potensi jalan lain
tersebut adalah pemanfaatan harta milik umum (al-intifa’ bi al-milkiyyah
al-‘ammah) termasuk berbagai pendapatan darinya, seperti barang-barang
tambang dan minyak (Abdullah, 1991:58).
1. Definisi dan Kategori Kepemilikan Umum
Menurut An-Nabhani (1990) dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadi fi
Al-Islam, kepemilikan umum adalah izin as-Syari' (Allah SWT)
kepada komunitas (orang banyak) untuk sama-sama memanfaatkan benda. Dari
pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
Pertama, Fasilitas Umum. Yang dimaksud dengan kebutuhan umum adalah apa saja yang
dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, dimana apabila ketiadaan
barang tersebut dalam suatu negeri atau dalam suatu komunitas, akan menyebabkan
kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya, misalnya air.
Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah
hadits. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda : “Manusia berserikat
(punya hak memanfaatkan secara bersama) dalam tiga benda : yaitu air, padang
rumput, dan api” (HR Abu Dawud)
Kedua, Bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang dapat
diklasifikasikan menjadi dua. Yakni, bahan tambang yang jumlahnya terbatas
(sedikit) dan bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar). Bahan
tambang yang jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Bahan tambang
yang jumlahnya sangat besar terkategorikan sebagai milik umum, dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi (sebagai kepemilikan individu).
Ketiga, Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk
dimiliki secara perorangan. Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah individu
untuk memilikinya, maka benda tersebut adalah benda yang termasuk kemanfaatan
umum. Seperti: jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan
sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah: masjid,
sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan,
dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : “Kota Mina adalah
tempat bagi orang yang lebih dulu (datang)”
2. Pemanfaatan Kepemilikan
Umum
Pemanfaatan/pengelolaan (tasharruf) benda-benda milik umum dilakukan
oleh negara dan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
a. Pemanfaatan Secara Langsung
Oleh Masyarakat Umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah
benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa
saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan
pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang
dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan
pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh
masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat
kemudharatan bagi individu lainnya. Sebagaimana setiap individu diperbolehkan
memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan, kendaraan.
Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan
perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain
yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum, laut,
sungai, dan danau.
b. Pemanfaatan Di Bawah
Pengelolaan Negara
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara
langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi
tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang
tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi
bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal.
Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan
pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada
rakyat—untuk konsumsi rumah tangga— dengan mendasarkan pada asas mencari
keuntungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan
yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan
jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka
diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.
3. Distribusi Pendapatan dari Kepemilikan
Umum
Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian
didistribusikan dengan cara sebagai berikut:
a.
dibelanjakan (al-infaq) untuk segala keperluan yang berkenaan dengan
kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan
umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi,
produksi, pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta
pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian bagian zakat untuk
keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (lihat QS. At Taubah: 60).
b.
dibagikan (at-tauzi’) kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam
hal ini khalifah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan
barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau
menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak
memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya
minyak mentah, dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan
pemasaran dalam negeri— dibagi ke seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang,
atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan
pelayanan umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib
dipenuhi lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.
4. Studi Kasus : Potensi
Tambang Minyak dan Emas-Perak-Tembaga
Studi Kasus ini diadopsi dari tulisan Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi (http://www.geocities.com/esyariah2003/1politik/014_metode_distribusi_zakat.htm) Mari kita lihat sebagai contoh tambang emas, perak, dan tembaga di Papua, yang saat ini ada di bawah cengkeraman PT Freeport Indonesia di Irian Jaya. Jika tambang tersebut dikelola dengan amanah atas dasar pola pemanfaatan milik umum, bukan atas dasar pola pemanfaatan milik swasta (pribadi), niscaya akan menghasilkan banyak kemaslahatan bagi umat.
Menurut laporan perusahaan yang berkantor pusat di Phoenix, negara bagian
Arizona, AS, tersebut, selama tiga bulan pertama 2008 ini, penjualan Freeport
melonjak menjadi USD 5,67 miliar atau sekitar Rp 52 triliun. Naik lebih dari
dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD 2,25
miliar. Itu baru kinerja selama tiga bulan. Kalau kinerja triwulan I tersebut
tetap terjaga, total penjualan tahun ini bisa mencapai Rp 208 triliun (Harian
Jawa Pos dalam http://icanxkecil.blogspot.com/2008/05/ke-grasberg-gunung-emas-papua-setelah.html). Suatu angka yang luar
biasa besar. Jika kita jumlah itu digunakan untuk menutup dana subsidi BBM
tahun 2008 ini sebesar Rp. 179 triliun, maka dengan mengandalkan hasil
penjualan konsentrat dari Papua tersebut umat akan terbebas dari penderitaan
yang menyedihkan akibat kenaikan harga BBM.
Contoh lainnya adalah hasil penjualan minyak bumi yang cukup fantastis dari
beberapa lokasi penambangan minyak. Tabel berikut menyajikan nilai produksi per
hari dari 3 lokasi ladang minyak, yaitu Seno Barat, Belanak, dan Riau.
Tabel 1.
Kapasitas dan Nilai Produksi Minyak Bumi dari Tiga Lokasi Ladang Minyak.
Ladang Minyak
|
Kapasitas Produksi Per Hari
|
Nilai Produksi Per Hari
|
Dikuasai Oleh
|
Seno Barat
|
60.000 barel
|
2.040.000 dolar AS
|
Exxon-Mobil dan Unocal (AS).
|
Belanak (Natuna Barat)
|
100.000 barel
|
3.400.000 dolar AS
|
Conoco (AS)
|
Riau
|
60.000 barel
|
2.040.000 dolar AS
|
Caltex (AS)
|
|
TOTAL
|
7.480.000 dolar AS
|
|
Sumber : Petromindo 23,
25, 26 & 29/Jan/01, Jakarta Post 30/Nov/00, 21/Dec/00, 26/Jan/01; Business
Times 19/Jan/01; Indonesian Observer 22/Sep/00; MinergyNews.Com
22/Sep/00. (Dihimpun dalam Buletin Down to Earth, No. 48,
Pebruari, 2001). Asumsi Perhitungan : 1 barel = 34 dolar AS ( data 22/01/03).
Dari tiga lokasi ladang minyak
saja, untuk satu hari saja, dihasilkan dana hasil penjualan sebesar 7.480.000
dolar AS. Jika
diasumsikan 1 dolar AS = Rp 9000,- maka nilainya sekitar 67,32 miliar rupiah
per hari. Jika
1 tahun dimisalkan ada 310 hari kerja, maka selama 1 tahun akan diperoleh = 310
x 67,32 miliar = Rp 20,9 triliun. Bayangkan kalau jumlah ini saja (Rp 20,9
triliun) ditambah jumlah hasil penjualan konsentrat sebesar Rp 15,6 triliun,
maka akan didapatkan dana 36,5 triliun. Belum tambang-tambang lainnya. Dengan
dana sebesar itu, sudah cukup untuk mencegah kerusakan sosial dan ekonomi
akibat naiknya BBM tahun 2003 dan ketidakstabilan harga minyak dunia tahun
2007-2008.
Tapi itu
kalau tambang-tambang tersebut diasumsikan sebagai barang kepemilikan umum.
Jika tambang diperlakukan sebagai milik swasta (pribadi), maka umat hanya gigit
jari, karena sebagain besar hasilnya akan dinikmati oleh pihak asing yang
serakah (baca : AS).
F. Penutup
Demikianlah
sekilas sumbangsih pemikiran kami mengenai pengkajian ulang metode distribusi
zakat dalam masyarakat kapitalis sekarang. Semoga bermanfaat bagi segenap pihak
yang mempunyai concern dalam hal pendayagunaan dana-dana sosial umat
bagi kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Reintrepetasi Alokasi Zakat:Mengkaji Ulang Metode Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern, http://www.geocities.com/esyariah2003/1politik/014_metode_distribusi_zakat.htm
Al-Qaradawi,
Yusuf. 1993. Fiqhus Zakat (Hukum Zakat). Alih bahasa oleh Salman Harun
dkk. Bogor : Litera AntarNusa.
An-Nabhani,
Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam. Dar Al-Ummah :
Beirut.
As-Siba’i,
Musthafa Husni. 1981. Kehidupan Sosial Menurut Islam (Isytirakiyah
Al-Islam). Alih bahasa oleh M. Abdai Ratomy. Bandung : CV Diponegoro.
Ash-Shan’ani,
Muhammad bin Ismail. Tanpa
Tahun. Subulus Salam. Bandung : Maktabah
Budiman, Arief.
1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Chapra, M. Umer.
1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Islam
and the Economic Chalenge). Cetakan Pertama. Terjemahan oleh Nur Hadi Ihsan
dan Rifqi Amar. Surabaya : Risalah Gusti & IIIT Malaysia.
Hafidhuddin,
Didin. 1998. Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, Sedekah. Jakarta :
Gema Insani Press.
Husaini, Adian
& M. Syafei Antonio. 1997. Zakat Kaum Berdasi. Jakarta : Gema Insani Press-Dompet Dhuafa
Republika.
Srahmn, Rudolf
H. 1999. Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara
Berkembang (Warum Sie So Arm Sind). Alih bahasa oleh Rudy Bagindo dkk.
Jakarta : Pustaka CIDESINDO.
Ulwan, Abdullah Nasih. 1985. Hukum Zakat Dalam
Pandangan Empat Mazhab. Jakarta
Komentar
Posting Komentar